Sehat
dan sakit adalah keadaan biopsikososial yang menyatu dengan kehidupan manusia.
Pengenalan manusia terhadap kedua konsep ini kemungkinan bersamaan dengan
pengenalannya terhadap kondisi dirinya. Keadaan sehat dan sakit tersebut terus
terjadi, dan manusia akan memerankan sebagai orang yang sehat atau sakit.
Konsep
sehat dan sakit merupakan bahasa kita sehari-hari, terjadi sepanjang sejarah
manusia, dan dikenal di semua kebudayaan. Meskipun demikian untuk menentukan
batasan-batasan secara eksak tidaklah mudah. Kesamaan atau kesepakatan
pemahaman tentang sehat dan sakit secara universal adalah sangat sulit dicapai.
Pengertian
Sehat (health) adalah konsep yang tidak mudah diartikan sekalipun dapat kita
rasakan dan diamati keadaannya. Misalnya, orang tidak memiliki keluhankeluahan
fisik dipandang sebagai orang yang sehat. Sebagian masyarakat juga beranggapan
bahwa orang yang “gemuk” adalah otrang yang sehat, dan sebagainya. Jadi faktor
subyektifitas dan kultural juga mempengaruhi pemahaman dan pengertian orang
terhadap konsep sehat.
Sebagai
satu acuan untuk memahami konsep “sehat”, World Health Organization (WHO)
merumuskan dalam cakupan yang sangat luas, yaitu “keadaan yang sempurnan baik
fisik[2], mental maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau
kelemahan/cacat”. Dalam definisi ini, sehat bukan sekedar terbebas dari
penyakit atau cacat. Orang yang tidak berpenyakit pun tentunya belum tentu
dikatakan sehat. Dia semestinya dalam keadaan yang sempurna, baik fisik,
mental, maupun sosial.
Pengertian
sehat yang dikemukan oleh WHO ini merupakan suatau keadaan ideal, dari sisi
biologis, psiologis, dan sosial. Kalau demikian adanya, apakah ada seseorang
yang berada dalam kondisi sempurna secara biopsikososial? Untuk mendpat orang
yang berada dalam kondisi kesehatan yang sempurna itu sulit sekali, namun yang
mendekati pada kondisi ideal tersebut ada.[3]
Dalam kaitan dengan konsepsi WHO tersebut, maka dalam perkembangan kepribadian seseorang itu mempunyai 4 dimensi holistik, yaitu agama, organobiologik, psiko-edukatif dan sosial budaya.Keempat dimensi holistik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Dalam kaitan dengan konsepsi WHO tersebut, maka dalam perkembangan kepribadian seseorang itu mempunyai 4 dimensi holistik, yaitu agama, organobiologik, psiko-edukatif dan sosial budaya.Keempat dimensi holistik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Agama/spiritual,
yang merupakan fitrah manusia. Ini merupakan fitrah manusia yang menjadi
kebutuhan dasar manusia (basic spiritual needs), mengandung nilai-nilai moral,
etika dan hukum. Atau dengan kata lain seseorang yang taat pada hukum, berarti
ia bermoral dan beretika, seseorang yang bermoral dan beretika berarti ia
beragama (no religion without moral, no moral without law).
b .Organo-biologik, mengandung arti fisik
(tubuh/jasmani) termasuk susunan syaraf pusat (otak), yang perkembangannya
memerlukan makanan yang bergizi, bebas dari penyakit, yang kejadiannya sejak
dari pembuahan, bayi dalam kandungan, kemudian lahir sebagai bayi, dan
setrusnya melalui tahapan anak (balita), remaja, dewasa dan usia lanjut .
c. Psiko-edukatif,
adalah pendidikan yang diberikan oleh orang tua (ayah dan ibu) termasuk
pendidikan agama. Orang tua merupakan tokoh imitasi dan identifikasi anak
terhadap orang tuanya. Perkembangan kepribadian anak melalui dimensi
psiko-edukatif ini berhenti hingga usia 18 tahun.
d. Sosial-budaya,
selain dimensi psiko-edukatif di atas kepribadian seseorang juga dipengaruhi
oleh kultur budaya dari lingkungan sosial yang bersangkutan dibesarkan.
(source
: https://books.google.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar